Text
Cahaya di tirai sakura: terinspirasi dari kisah nyata
Begitu sampai di Jepang, Riza langsung dibantu oleh salah satu staf di perusahaan yang sama dengannya bernama Yuta Takashima. Yuta adalah orang asli Jepang yang lancar berbahasa Indonesia. Sehingga kehadirannya bisa cukup membantu Riza untuk beradaptasi selama bekerja dan menjalani hidup baru di Jepang.rnrnGegar budaya (culture shock) jelas dialami Riza. Mulai dari soal makna dan aturan dalam memberi salam atau hormat dengan membungkuk (ojigi) yang ada beberapa tingkatan, kebiasaan tepat waktu yang begitu ketat (bukan cuma soal datang telat yang dianggap memalukan, datang terlalu cepat pun dianggap kurang sopan), keharusan melepas sepatu di rumah, hingga soal upacara dalam beberapa agama. rnrnDari pengalaman Riza bekerja di Jepang, kita jadi memahami soal budaya kerja di sana. Selama bekerja di sana, Riza tak menjumpai karyawan yang nongkrong atau menghabiskan waktu mengobrol dengan rekan lain selama bekerja. Ketepatan waktu pun sangat dijunjung tinggi. Ada karyawannya yang lebih memilih untuk izin cuti setengah hari hanya karena ia bakal datang terlambat di kantor. Ada juga yang menarik soal membagi oleh-oleh ke para karyawan yang sempat membuat Riza salah paham pada awalnya.rnrnrnBanyak hal menarik di novel ini yang bisa kita ambil pelajarannya./Copyright Vemale/EndahrnrnBanyak sekali pengalaman baru yang didapat oleh Riza. Seperti soal harakiri yang masih terjadi di Jepang. Penggunaan sumpit yang benar juga ada aturan dan maknanya sendiri. Teman Riza yang datang ke Jepang sempat ada yang bilang kalau di toiletnya ada hantu. Soal kenapa tidak ada jalan menanjak di Jepang. Juga aturan dan etika dalam menghadiri undangan sampai soal melayat seorang rekan yang baru bisa dilakukan satu tahun setelah kematiannya. rnrnDitulis dengan bahasa yang ringan dan mengalir
| SMAFJA00188 | 813/KUS/c | My Library (Rak Koleksi SMA) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain